Kamis, 22 Januari 2015

Belajar Kesederhanaan dari Masyarakat Suku Baduy




Udara segar pagi itu memberikan suasana baru yang tak biasa ditemukan di kota Jakarta sebelumnya. Ada perasaan damai ketika berada di Desa Cikeusik, Suku Baduy Dalam. Masyarakat Kanekes atau lebih di kenal sebagai Suku Baduy, terletak di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Banten, berjarak sekitar 40 km dari Rangkasbitung. Gemercik air yang mengalir di sungai serta suara kicauan burung mengiringi perjalan tukangjalan.com kali ini.

Kali ini kami beserta teman-teman yang lainnya bekesempatan mengunjungi Suku Baduy yang bertofografi berbukit atau bergelombang dan merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300-600 mdpl yang membuat suhu di daerah ini berkisar 20 derajat. Cukup dingin kan!! Perjalanan ini Memberikan pengalaman yang berbeda dan jarang ditemukaan di tempat-tempat lain.



Bahasa yang di gunakan oleh masyarakat Suku Baduy adalah Bahasa Sunda Dialek Sunda-Banten. Namun pengunjung tak perlu khawatir tidak dapat mengerti bahasa mereka karena sebagian besar sudah mengerti Bahasa Indonesia jadi memudahkan untuk berkomunikasi. Uniknya mereka bisa mengerti bahasa Indonesia bukan dari sekolah melainkan dari para pengunjung. Pendidikan formal bertentangan dengan adat istiadat di Suku Baduy makanya mereka tidak mengenal sekolah.



Sebagian masyarakat Kanekes  menetap di Kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Dan kali ini, kami dan teman - teman yang lain menginap di desa Cikeusik.

Mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu juga mereka mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan seperti durian dan madu hutan serta kerajinan tangan seperti, tas, kalung, gelan dan cincin yang bahan dasarnya dari serat kayu.

Adat Istiadat yang Masih Sangat Kental

Kepercayaan Masyarakat Suku Baduy adalah Sunda Wiwitan berakar pada kepercayaan kepada pemujaan arwah nenek moyang (Animisme). yang selanjutnya dipengaruhi agama Hindu, Budha. Masyarakat Suku Baduy dari dahulu sangat berpengang teguh pada pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut. Isi terpenting dari "Pikukuh" (kepatuhan) itu adalah konsep "tanpa perubahan apapun" atau perubahan sedikit mungkin.



"Larangan kalau di langgar pasti ada akibatnya, dan mendapatan sanksi bahkan hingga di keluarkan dari baduy dalam" ujar Juli (17 thn) warga Suku Baduy Dalam. 

Baduy dan Alam

Setiap pengunjung yang datang ataupun yang hendak menginap di rumah warga harus menghormati dan mematuhi adat yang berlaku di masyarakat Suku Baduy Dalam. Terdapat banyak larangan yang harus di hormati seperti larangan menggunakan handphone untuk mengambil gambar,  menggunakan sabun dan pasta gigi ketika mandi di sungai, Karena menurut mereka alat-alat seperti itu dapat merusak alam. Suku Baduy Dalam memang sangat bergantung pada alam, ini terlihat dari bangunan rumah yang sederhana terbuat dari bambu, alat- alat dapur serta alat makan pun mereka menggunakan bahan-bahan dari alam. Tidak ada satupun peralatan modern yang akan kalian temukan disana.

Untuk pengunjung warga  asing tidak diperkenankan untuk memasuki kawasan Suku Baduy Dalam yang warganya selalu menggunakan pakaian berwarna hitam dan ikat kepala berwarna putih. Setiap warga Baduy kemanapun mereka hendak pergi tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki. Tidak hanya itu merekapun tidak menggunakan alat transportasi. Jadi sejauh apapun tempat yang mereka akan datangi mereka selalu berjalan kaki.

Foto bersama suku baduy di desa Cijahe

Foto bersama suku baduy di desa Cisadane

Sementara itu, pada bulan Kawalu (masa panen tiga bulan berturut-turut pada bulan Januari hingga Maret), Suku Baduy Dalam ditutup untuk semua orang luar. Dan di buka kembali setelah perayaan adat masyarakat mereka berakhir.

2 Hari 1 Malam berada di tengah-tengah masyarakat Suku Baduy menyimpan banyak cerita, dan pelajaran tentang kesederhanaan, kebersamaan, kepatuhan  terhadap peraturan. Setiap perjalan.. berada di tempat baru.. menemui orang-orang baru.. mengenal kebudayaan serta adat baru.. i love it.






1 komentar:

  1. Wow, kayaknya seperti masuk dunia lain ya? Mereka bahagia, jika ada yang berpikir (mungkin pemerintah) untuk mengubah mereka menuju masyarakat yang lebih modern, perlu berpikir lagi. Kebahagiaan suku baduy adalah seperti adanya. Sedangkan kebahagiaan kita orang modern yang biasanya diukur dengan kepunyaan, let's say karir bagus, asuransi, gaji besar, smartphone canggih, mobil kinclong, rumah futuristik, tapi ternyata kita kadang lelah dengan semua itu.

    BalasHapus